Sosok Pahlawan daerah Sersan Mayor
(Serma) Abdul Muis ketika mengunjungi desa Batun Baru, Kecamatan Jejawi,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada tahun 2010
lalu. Kebetulan saat itu, saya terpilih menjadi salah satu peserta
Kuliah Kerja Nyata (KKN) IAIN Raden Fatah Palembang yang ke-55 untuk
desa Batun Baru.
SDN 1 Muara Batun, Kecamatan Jejawi, OKI.
Inilah sedikit cerita mengenai pahlawan daerah, Serma Abdul Muis bersama
monumen patungnya yang dilupakan. Semoga cerita ini menjadi inspirasi
dan motivasi bagi teman-teman yang berada di pelosok sekalipun untuk
turut menceritakan pahlawan daerahnya. Sungguh di Nusantara ini masih
banyak pahlawan-pahlawan yang belum diangkat ke permukaan untuk
diceritakan. Kini saatnyalah, kita mengangkat mereka untuk menemukan
arti dan nilai-nilai pengabdian mereka kepada bangsa ini─demi generasi
muda Indonesia lebih baik

Patung Serma Abdul Muis
Hal menarik yang saya tangkap, sesaat tiba di desa Batun Baru, adalah
monumen patungnya. Monumen patung ini ternyata satu-satunya yang
dibangun di Kecamatan Jejawi. Padahal Kecamatan Jejawi mempunyai tujuh
desa lainnya. Selama di perjalanan pun mulai dari Palembang sampai
memasuki Kecamatan Jejawi yang berjarak kurang lebih 32 km─sama sekali
tidak tampak monumen patung selain di desa Batun Baru. Saya menduga,
kemungkinan ada kisah menarik yang melatarbelakangi pendirian monumen
patung tersebut. Hanya saja, saya belum mempunyai niatan untuk
mendalaminya. Sampai suatu hari saya menemukan fakta bahwa monumen
patung yang terlihat kokoh itu kondisinya memprihatinkan.
Setahu saya, monumen adalah bangunan atau tempat yang mempunyai nilai
sejarah yang penting dan dipelihara serta dilindungi oleh Negara. Tetapi
mengapa monumen patung satu ini pengecualian? Ada beberapa bagiannya
yang rusak seperti prasasti peresmian monumen, pagar, dan temboknya.
Begitu juga di sekitaran monumen, telah ditumbuhi ilalang dan jamur.
Jemuran dan drum-drum warga pun bertumpukan─menambah kesan tidak
terawatnya monumen patung tersebut. Akhirnya saya pun mendatangi kepala
desa (kades) Batun Baru untuk meminta penjelasan darinya.

Prasasti Peresmian Monumen Pahlawan Serma Abdul Muis yang kondisinya telah rusak.

Monument Patung (Serma) Abdul Muis
Tampak kondisinya memprihatinkan.
Pagarnya sudah hilang. Bahkan disekitar lokasi monumen dijadikan tempat
menjemur pakaian dan penitipan drum warga.
Ada dua pertanyaan yang saya sampaikan kepada kades Batun Baru yakni
Bapak Jailani. Pertama, saya ingin mengetahui siapakah sosok patung
tersebut? Kedua, mengapa patung tersebut tidak mendapatkan perawatan
sebagaimana mestinya. Bapak Kades pun menjelaskan bahwa patung tersebut
adalah Serma Abdul Muis. Memang katanya, pendirian patung Serma Abdul
Muis untuk mengenang perjuangan warga Batun dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947. Hanya saja, dia mengakui bahwa
patung Serma Abdul Muis sudah tidak mendapatkan perawatan lagi sejak
2006─disebabkan persoalan klasik, anggaran desa yang tidak mencukupi.
Apalagi desa Batun Baru statusnya masih desa persiapan, banyak
infrastruktur yang harus didahulukan daripada mengurusi sebuah monumen
patung. Bapak Kades pun lalu menyarankan kepada saya apabila tertarik
lebih lanjut untuk mendalaminya, silahkan bertanya kepada Bapak Amidin,
dia adalah bekas anak buah Serma Abdul Muis. Rumah beliau berada di desa
sebelah, desa Muara Batun. Tanpa berlama-lama saya pun segera meluncur
untuk menemui orang yang dimaksudkan.

Inilah Bapak Amidin Jailani, bekas anak buah Serma Abdul Muis.
Dia bernama lengkap Amidin Jailani, usianya kisaran 80 tahun,
satu-satunya bekas veteran perang yang masih hidup saat ini tatkala
peristiwa penyerangan pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration─Pemerintahan
Sipil Hindia Belanda) di desa Muara Batun tahun 1947. Pembawaannya
tenang dan pendengarannya pun masih baik di usianya yang tergolong uzur.
Saya benar-benar diistimewakan beliau setelah mengutarakan maksud dan
tujuan saya menemuinya. Beliau memang sudah lama mengharapkan ada warga
atau anak muda datang kepadanya lalu bertanya mengenai monumen patung
tersebut. “Tetapi apa boleh buat, warga di sini terutama anak mudanya tidak tahu menahu. Mereka lupa dengan apa yang kami perjuangkan dulu”, sesal Bapak Amidin.
Beliau kemudian mengajak saya untuk melihat beberapa catatan
perjuangannya bersama Serma Abdul Muis. Sambil membongkar-bongkar berkas
yang tampak sudah lusuh dan menguning, dia lalu menyodorkan sebuah map
yang berisi tulisannya. “Di dalam Map ini ada memoar saya
ketika berjuang bersama Serma Abdul Muis, memoar ini jugalah yang
akhirnya memprakarsai pendirian monumen patung Serma Abdul Muis tahun
1984”, ujar Bapak Amidin.

Naskah memoar Bapak Amidin saat bertempur bersama Serma Abdul Muis tahun 1947. Tampak naskahnya sudah lusuh dan menguning.
Dahulu, bekas prajurit perang (veteran) tahun 1947 di Muara Batun sama
sekali tidak diperhatikan pemerintah. Makanya, Bapak Amidin dan
kawan-kawan menulis memoar ini untuk mengingatkan kepada mereka
(pemerintah) bagaimana kerasnya perjuangan mereka dahulu. “Apalagi
saya masih ingat betul dengan pesan terakhir Serma Abdul Muis sebelum
menjadi martir (mengorbankan diri). Dia bilang agar suatu saat nanti
dapat menceritakan bagaimana dulunya ia berjuang. Makanya dia memutuskan
menjadi orang yang akan meledakkan jembatan itu bila seandainya tidak
dapat lagi mempertahankan Batun”, ucap Bapak Amidin panjang lebar.
Saya pun terdiam dan sedikit terkejut, ternyata kematian Serma Abdul
Muis dikarenakan martir. Bapak Amidin pun kemudian melanjutkan dengan
memperlihatkan foto-foto saat dan sesudah perjuangan. “Jika kamu
pernah ke Monpera (Monumen Perjuangan) di Palembang, kamu akan melihat
beberapa foto kami di sana. Bahkan pernah bagian kemuseuman Palembang
meminta foto dari saya demi menambah koleksi Museum”, kata Bapak Amidin.
Setelah puas melihat koleksi foto-foto perjuangan Bapak Amidin, saya pun
mulai bertanya, bisakah Bapak menceritakan kembali kronologi
pertempuran di Muara Batun sampai gugurnya Serma Abdul Muis? “Ya, tentu saja”, jawab Bapak Amidin. “Di dalam Memoar
yang saya tulis ini juga ada, atau diorama di monumen patung itu juga
ada, tapi jika kamu ingin mendengarkan langsung dari saya, juga boleh”, kata Bapak Amidin memberi pilihan.
Saya pun memilih mendengarkannya langsung, walaupun sekali-kali terlihat
Bapak Amidin membolak-balikan naskah memoarnya saat lupa dengan tanggal
peristiwa. Menurut penuturan beliau, pertempuran di Muara Batun tahun
1947 tidak lepas dari kalahnya pertempuran yang ada di Palembang tanggal
1-5 Januari 1947 (atau dikenal pertempuran lima hari lima malam). Di
mana setelah Belanda (NICA) mendapatkan kemenangan di Palembang, mereka
melanjutkan ke daerah lainnya terutama Kayu Agung, Ibu Kota Kabupaten
OKI saat ini. Demi menjaga Kayu Agung itulah, pimpinan militer Tentara
Republik Indonesia (TRI) untuk kawasan Sumatera membentuk suatu brigade
tempur.
Dalam peta pertahanan OKI, ada dua klasifikasi daerah yang dianggap
menjadi titik rawan pada saat itu. Pertama, dari jalur air yakni sungai
Komering dan sungai Ogan. Kedua, dari jalur darat yang ditempuh dalam
dua rute. Rute pertama, Palembang ― Rambutan ― Jejawi ― Sirah P. Padang ―
Kayu Agung. Rute kedua, Palembang ― Simpang Payakabung ― Kayu Agung.
Pengamanan keseluruhan daerah tersebut dilakukan dengan membentuk tiga
front, yaitu front tengah, front kanan, dan front kiri.
Di Jalur darat pada rute pertama, Belanda berhasil memukul mundur
pasukan Indonesia dari simpang Rambutan. Mereka menjadikan Rambutan
sebagai pertahanan sebelum bergerak ke Kayu Agung. Setelah itu mereka
maju kembali masuk ke dusun Lingkis pada tanggal 23 Januari 1947. Ketika
memasuki Lingkis, pasukan Belanda diserang secara frontal oleh pasukan
Indonesia. Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur dan kembali ke
Simpang Rambutan. Sedangkan pasukan Indonesia sendiri mundur ke Muara
Batun untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda yang kedua.
Akhirnya setelah memiliki perencanaan yang matang, pasukan Belanda
memasuki kembali dusun Lingkis. Kali ini mereka membawa amunisi lebih
banyak dan modern dari sebelumnya. Dengan adanya dukungan senjata
seperti itu, pasukan Belanda berhasil menduduki Lingkis dalam waktu yang
singkat. Namun pada saat memasuki wilayah Muara Batun, pasukan Belanda
benar-benar baru merasakan bagaimana semangat para pejuang Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan. Taktik gerilya yang diterapkan oleh
komando Serma Abdul Muis ternyata membuat pasukan Belanda kesulitan.
Belanda benar-benar tidak tahu mana yang pejuang dan mana yang sipil.
Senjata modern yang mereka bawa pun seakan tidak berguna. Belanda kalah
dengan taktik yang diterapkan Serma Abdul Muis.
Karena gagal menerobos Muara Batun, akhirnya Belanda pun menerapkan
strategi kotor. Mereka menembaki semua orang yang ada dihadapannya.
Rumah-rumah warga dibakar, dan orang-orang tidak bersalah dianiaya.
Tujuannya agar para pejuang Indonesia keluar dari tempat persembunyian
dan menyerahkan diri.
Namun Serma Abdul Muis lebih memilih mengahapi Belanda secara berhadapan
ketimbang menyerahkan diri. Sehingga terjadilah tembak-menembak antara
pasukan Belanda dan pasukan Indonesia. Karena senjata yang tidak
memadai, pasukan Indonesia mundur sampai ke jembatan sungai Ogan yang
memisahkan Muara Batun Barat dan Timur (sekarang desa Batun Baru). Di
jembatan sungai Ogan inilah akhirnya Serma Abdul Muis tertembak saat
hendak meledakkan jembatan yang menghubungkan Muara Batun Barat dan
Timur. Peristiwa naas tersebut dimulai saat pasukaan Indonesia tidak
dapat lagi menahan serangan Belanda. Karena terus terdesak, Serma Abdul
Muis pun memasang taktik mengulur waktu dengan cara meledakkan jembatan
yang menghubungkan Muara Batun Barat dan Timur. Agar para pejuang
kemerdekaan yang masih tersisa bisa melarikan diri ke benteng pertahanan
di Kayu Agung.
Dalam usaha peledakan jembatan, Serma Abdul Muis menunjuk dirinya
sebagai eksekutor dengan ditemani tujuh rekan lainnya sebagai pelindung.
Kemudian Serma Abdul Muis mulai melakukan aksinya. Pertama-tama ia
bergerak ke tengah jembatan dan memasang granit, lalu mulai menyalakan
api agar efek ledakan bisa melukai Belanda. Namun sayang ketika
menyalakan api itulah peluru-peluru Belanda berhasil menembus dada Serma
Abdul Muis sehingga gugurlah dalam pertempuran mempertahankan
kemerdekaan Indonesia di jembatan sungai Ogan. Kematian Serma Abdul Muis
itu memukul moril dan keberanian para pejuang dalam mempertahankan
wilayah OKI dari pasukan Belanda.

Peta lokasi jembatan yang menghubungkan desa Muara Batun dan Batun Baru
saat terjadinya pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan tahun 1947.

Lokasi jembatan lama yang akan diledakkan oleh Serma Abdul Muis.
Setelah bercerita panjang mengenai peristiwa pertempuran di desa Muara
Batun hingga menggurkan Serma Abdul Muis pada tahun 1947. Saya pun
menjadi terkesima dengan sosok Serma Abdul Muis. Ternyata Serma Abdul
Muis turut berperan penting juga dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Sayangnya kini, namanya dilupakan banyak orang, terutama bagi
warga Muara Batun dan Batun Baru sendiri. Ini terlihat dari banyaknya
anak muda yang tidak tahu dengan sosok patung tersebut.
Saya pun sedikit menyinggung kondisi monumen patung Sersan Abdul Muis
kepada Bapak Amidin. Beliau langsung menjawab dengan sinis, “sudahlah
nak, saya gerah dengan orang-orang itu, berapa kali saya bicara sama
mereka mengenai monumen patung itu. Tapi tetap saja. Cobalah lihat
dinding pada monumen patung itu, sudah rusak. Pagarnya pun hilang entah
ke mana. Padahal seharusnya ada anggaran untuk merawatnya.” Saya
hanya diam tanda tidak mau melanjutkan. Tapi di dalam kepala saya,
teringat akan perkataan guru saya dulu, bahwa monumen itu salah satu
fungsinya sebagai sites of memory (tempat mengingat warga pada
suatu peristiwa di masa lampau) yang bila diabaikan begitu saja maka
hilanglah peristiwa di masa lampau itu. Bahkan bila tidak disiapkan
untuk diperkenalkan kepada generasi yang akan datang, site of memory akan hilang nilainya.

Menurut Bapak Amidin, dulu ada catatan nama-nama pahlawan yang gugur
pada tembok monumen ini. Sayangnya sekarang sudah hilang. Cat bewarna
merah itulah yang menghapusnya.

SDN 1 Muara Batun., Kecamatan Jejawi, OKI. Foto ini diambil saat kondisi halaman sekolahnya kebanjiran.
0 komentar:
Posting Komentar